BERITA SEPUTAR GORONTALO, NASIONAL DAN INTERNASIONAL............... BERITA PERTAHANAN DAN KEAMANAN WILAYAH KEDAULATAN NKRI DAN ASEAN...........

Minggu, 19 Februari 2012

Digitalisasi Televisi


KOMPAS.com - Tiga hal terkait penyiaran sedang terjadi saat ini. DPR membahas Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang baru, Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran mengajukan uji materi tentang pemusatan kepemilikan ke Mahkamah Konstitusi, dan pemerintah mengeluarkan PP No 22/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar.

Di banyak negara, pengaturan penyiaran berdasarkan prinsip diversity of ownership dan diversity of content untuk kesejahteraan rakyat.

Pengaturan berlangsung ketat karena pertama, lembaga penyiaran mempergunakan frekuensi yang menjadi milik publik.

Kedua, frekuensi itu terbatas (limited resources). Dengan teknologi digital, jumlah lembaga penyiaran bisa lebih banyak, tetapi tetap terbatas. Sebagai contoh, sebuah kanal frekuensi yang dalam teknologi analog hanya memuat satu program siaran televisi, dengan teknologi digital dapat menampung 12 program siaran televisi sekaligus (multipleksing dengan teknologi terbaru DVB-T2). Kanal frekuensinya adalah band IV dan V UHF, yaitu kanal 28 sampai 45.

Ketiga, siaran televisi dapat memasuki dan menembus rumah kita secara serentak dan meluas tanpa kita undang (pervasive presence theory). Itu sebabnya mengapa industri penyiaran harus diatur ketat.

Amerika Serikat

Di Amerika Serikat, pengaturan kepemilikan dan penguasaan stasiun televisi diatur ketat berdasarkan luas jangkauan stasiun televisi yang berbadan hukum. Kepemilikan dapat banyak selama total jangkauan tidak melebihi 39 persen dari nation’s tv homes atau rumah tangga yang memiliki pesawat televisi (Federal Communications Commission/FCC, 2011).

FCC menghitung jangkauan TV dengan UHF separuh dari perhitungan VHF. Maka, sebenarnya daya jangkau televisi berjaringan di Amerika 5-63 persen (TVNewsCheck April 7, 2010). Di Amerika, 99 persen rumah tangga memiliki televisi.

FCC melarang merger antarstasiun jaringan televisi nasional pada peringkat pertama hingga ke-4 secara komersial, seperti ABC, CBS, FOX, dan NBC. Namun, FCC memperkenankan sebuah badan hukum memiliki dua stasiun televisi lokal di satu wilayah siaran/pasar dengan mengikuti syarat:
(1) pelayanan setiap stasiun televisi tak berimpit (contour overlap);
(2) salah satu stasiun televisi tak berada dalam peringkat pertama hingga ke-4 (market share) dalam satu wilayah dan paling sedikit masih terdapat 8 stasiun independen di situ (FCC, 2011).

Di Amerika Serikat, setiap empat tahun ada penilaian kembali terhadap kebijakan kepemilikan televisi. Pada 22 Desember 2011, FCC mengeluarkan Notice of Proposed Rulemaking. Secara khusus untuk televisi, FCC mengusulkan untuk mempertahankan aturan kepemilikan televisi saat ini dengan beberapa modifikasi, yaitu menghapus ketetapan contour overlap karena tidak relevan dalam televisi digital sejak 12 Juni 2009.

Di AS, dengan penduduk 300 juta jiwa, sistem stasiun jaringan berjumlah 30-an dan ribuan stasiun lokal. Terdapat 1.750 stasiun televisi lokal, 380 di antaranya nonkomersial. Ada yang milik jaringan atau kelompok, termasuk berafiliasi pada kelompok independen (Dominick, 2012).

Australia

Di Australia, berdasarkan Gardiner-Garden (2006), seseorang atau suatu badan hukum tak boleh menguasai—melalui kombinasi—izin televisi yang menjangkau lebih dari 75 persen penduduk. Juga tidak boleh lebih dari satu izin di satu daerah.

Di Australia, dengan penduduk 22 juta jiwa, terdapat 56 izin televisi komersial dengan 6 kelompok perusahaan sebagai berikut:
(1) The Seven Network (Seven Network Ltd) memiliki 6 izin dan menjangkau 73 persen penduduk;
(2) The Nine Network (PBL) memiliki 4 izin dan menjangkau 52 persen;
(3) Network Ten (Ten Network Holdings Pty Ltd) memiliki 5 izin dan menjangkau 66 persen;
(4) Southern Cross Broadcasting (Australia) Ltd memiliki 15 izin dan menjangkau 42 persen;
(5) WIN Television (WIN Corp P/L) memiliki 14 izin dan menjangkau 26 persen; dan
(6) Prime Television Ltd memiliki 9 izin dan menjangkau 25 persen.

Program beberapa stasiun jaringan utama juga disiarkan oleh stasiun independen sehingga pengaruhnya bisa lebih luas. Stasiun televisi nasional (lembaga penyiaran publik) Australian Broadcasting Corporation juga memiliki jaringan dan ditonton secara meluas di Australia dengan 13 juta orang setiap minggu.

Saat ini, berdasarkan Australian Communication and Media Authority (2012), terdapat 69 izin televisi komersial. Ini berarti regulasi berdasarkan daya jangkau—seperti juga di AS—mampu mengakomodasikan perkembangan teknologi digital.

UUD 1945 dan penyiaran

Bagaimana dengan Indonesia? Dengan upaya pengembangan desentralisasi melalui otonomi daerah dan jaminan terhadap hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat, Republik Indonesia seharusnya bergerak dari sistem otoriter yang sentralistis ke demokratis yang desentralistis. Maka, untuk Indonesia, sistem yang tepat adalah sistem penyiaran dengan stasiun televisi berjaringan dan stasiun lokal.

Untuk menghindari konsentrasi dan pemusatan kepemilikan berlebihan seperti sekarang, Amerika Serikat dan Australia adalah contoh yang baik. Pembatasan dilakukan berdasarkan daya jangkau dari stasiun televisi yang dimiliki.

Lantas, bagaimana dengan Permen Nomor 22 Tahun 2011? Permen ini mengkhawatirkan karena memunculkan model baru lembaga penyiaran yang tak terdapat dalam Undang-Undang Penyiaran, yaitu Lembaga Penyiaran Penyelenggara Program Siaran (LPPPS) dan Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LPPPM).

Apalagi yang bisa mendirikan LPPM adalah lembaga yang sudah mempunyai izin penggunaan spektrum frekuensi radio dan izin penyelenggaraan penyiaran. Itu adalah lembaga penyiaran yang kini eksis! Kemudian LPPM dapat melayani lebih dari 1 zona, padahal terdapat 15 zona di seluruh Indonesia. Setiap zona melayani beberapa wilayah, seluruh Indonesia ada 216 wilayah.

Kita juga harus mempersoalkan mengapa Lembaga Penyiaran Publik TVRI hanya diperkenankan jadi LPPM pada 1 dari 6 kanal yang ada, sementara 5 kanal lain diberikan kepada pihak swasta. Bukankah ini liberalisasi berlebihan?

Semua memperlihatkan, permen berpeluang melanggengkan pemusatan kepemilikan yang berlebihan dan oligarki yang terjadi pada industri penyiaran saat ini. Juga menyulitkan munculnya pemain alternatif atau pemain baru yang bukan kelompoknya.

Kita memang memasuki era digitalisasi, tetapi harus dengan peraturan yang menguntungkan semua pihak, menguntungkan seluruh masyarakat Indonesia, agar demokratisasi penyiaran berjalan secara sehat.

* Amir Effendi Siregar, Pengamat Penyiaran dan Dosen Komunikasi Universitas Islam Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar