Kamis, 05 Januari 2012
Teluk Hormuz Memanas, SBY Kirim Surat ke Sekjen PBBvvvvvv
JAKARTA, - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, pemerintah Indonesia prihatin atas memanasnya situasi antara pasukan Amerika Serikat dan Iran di sekitar jalur vital. Pasalnya, aksi saling mempertontonkan otot kekuatan militer antarkedua negara turut memicu meningkatnya harga minyak bumi.
Presiden mengatakan akan mengirimkan surat kepada Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon untuk berperan dalam kasus ini. "Semoga Sekjen PBB mengambil langkah-langkah semestinya sehingga kita bisa mencegah sesuatu yang bisa mengganggu kelancaran minyak bumi dari Timur Tengah. Ini semata-mata untuk perekonomian dunia, termasuk negara berkembang, seperti Indonesia, yang berjuang meningkatkan pertumbuhannya," kata Presiden ketika membuka Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (5/1/2012).
Selat Hormuz adalah satu-satunya jalur perairan delapan negara di kawasan Teluk Persia atau Arab. Delapan negara itu adalah Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Qatar, Bahrain, Kesultanan Oman, Kuwait, Irak, dan Iran.
Hampir setiap 10 menit satu kapal tanker melewati selat tersebut. Sekitar 40 persen impor minyak dunia melewati selat itu, dan sekitar 90 persen ekspor minyak negara-negara Arab teluk, Irak, dan Iran melalui jalur Selat Hormuz.
Menurut kajian sebuah lembaga energi di AS, diprediksi volume ekspor minyak yang melalui Selat Hormuz bisa mencapai 35 juta barrel setiap hari pada tahun 2020. Presiden mengatakan, kenaikan harga minyak bumi saat ini tak wajar karena jumlah permintaan dan penawaran tetap sama.
Jika situasi ini berlarut-larut, kata Presiden, hal ini akan merugikan negara-negara di dunia. Sementara itu, pihak yang diuntungkan hanyalah negara-negara penghasil minyak.
"Oleh karena itu, Indonesia menyerukan agar semua pihak bisa menahan diri agar tidak terjadi sesuatu," kata Presiden.
Seperti diwartakan, ketegangan itu dipicu oleh usulan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy pada Desember lalu untuk menambah sanksi terhadap Iran, yaitu pertama, pembekuan aset-aset bank sentral Iran, dan kedua, mengembargo ekspor minyak Iran.
Negeri para Mullah itu sesungguhnya sudah terbiasa dengan berbagai sanksi Barat, sejak meletusnya revolusi Iran tahun 1979. Namun, berbagai sanksi Barat itu belum menyentuh pada inti urusan perut rakyat Iran, yaitu ekspor minyak yang merupakan hampir 90 persen dari pendapatan nasional Iran. Itulah yang membuat Iran segera naik pitam dengan mengancam menutup Selat Hormuz jika Barat berani menjatuhkan sanksi embargo ekspor minyak Iran.
Bagi Iran, masalah ekspor minyak dan gas adalah garis merah karena menyangkut inti kehidupan rakyat negeri itu. Analis politik Iran, Hussein Shariatamadari, mengklaim Iran memiliki hak secara hukum menutup Selat Hormuz, baik sementara maupun permanen berdasarkan kesepakatan Geneva tahun 1958 dan kesepakatan Jamaika tahun 1982.
Dua kesepakatan tersebut memberi hak kepada negara-negara yang bertepi ke Selat Hormuz menutup selat itu secara permanen dan sementara jika kedaulatannya terancam oleh kapal dagang atau militer yang melewati selat tersebut. Wakil Presiden Iran Mohamed Reza Rahimi pada akhir Desember lalu menegaskan, jika sanksi dijatuhkan terhadap ekspor minyak Iran, maka tak ada setetes pun minyak yang akan melewati Selat Hormuz.
Menurut analis militer Barat, seperti dikutip harian The New York Times edisi 29 Desember lalu, Iran tidak memiliki kemampuan militer untuk menutup total Selat Hormuz. Analis tersebut mengatakan, mesin militer AS dan Barat dengan mudah menekuk upaya militer Iran menutup selat vital tersebut.
Namun, menurut para analis itu, Iran mampu mengganggu atau menghambat jalur lalu lintas di Selat Hormuz. Para analis memprediksi Iran akan memilih menyebarkan ribuan ranjau laut di sekitar Selat Hormuz untuk mengganggu jalur lalu lintas di selat vital itu.
Share
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar