Selasa, 17 Januari 2012
Produksi Minyak Indonesia Kalah dengan Malaysia
JAKARTA, — Ketua bidang Migas Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ari H Soemarno, menilai kurangnya investasi di industri minyak mentah menyebabkan produksi dan cadangan minyak mentah terus turun. Kurangnya investasi karena, salah satunya, komoditas minyak dan gas bukan saja diperlakukan sebagai komoditas ekonomi, tetapi juga komoditas politik.
"Jadi peraturan dan ketentuan yang berlaku untuk pemilihan mitra bisnis migas yang ada sekarang terus terang itu membuat kegamangan di kalangan di pelaku bisnis bukan Pertamina saja," ujar Ari, dalam diskusi terkait persaingan usaha di sektor minyak dan gas, di Jakarta, Selasa (17/1/2012 ).
Selain itu, Ari menyebutkan, keberadaan regulasi yang begitu ketat seiring dengan migas bukan hanya komoditas ekonomi, tetapi juga komoditas politik memberatkan pelaku usaha. Karena, kata dia, sektor migas masih merupakan komoditas yang sangat diandalkan negara. "Implikasinya produksi kita menurun terus karena kurangnya investasi. Cadangan kita juga turun terus," tambah Ari yang juga mantan Direktur Utama Pertamina.
Ari menyebutkan, cadangan minyak Indonesia kini hanya 3,8 miliar barrel, sementara cadangan Malaysia bisa mencapai 5,3 miliar barrel. Padahal, kata dia, pada 20-30 tahun lalu, cadangan minyak Indonesia bisa mencapai 10 miliar barrel, sedangkan Malaysia hanya 1-2 miliar barrel.
Sementara produksi minyak nasional terus turun. Ini telah terjadi sejak akhir tahun 1990-an. Sekarang produksi minyak mentah hanya mencapai 900.000 barrel per hari. "Perkiraannya adalah pada tahun 2015 nanti produksi dari Indonesia akan jauh dibawah produksi negara Malaysia. Karena kurangnya investasi, karena keragu-raguan, karena aturan main yang ada di sini," ucap dia.
Bukan hanya produksi dan cadangan saja yang turun. Investasi di kilang bahkan tidak ada lagi. Ditegaskannya, Pertamina terakhir membangun kilang tahun 1995. "Jadi sudah 17 tahun enggak ada penambahan kilang," sebut Ari.
Dengan peningkatan konsumsi, tetapi produksi minyak mentah turun, maka bahan bakar pun sekarang ini harus diimpor. "Total impor BBM (bahan bakar minyak) kita untuk premium dan pertamax plus sudah mendekati 60 persen (dari total kebutuhan)," tutur dia.
Jalan keluarnya, kata Ari, pemerintah perlu membedakan perlakuan industri migas dari industri lainnya. "Jadi mungkin perlu diferensiasi industri migas dari industri lainnya, mungkin kalau istilah hukumnya lex spesialis. Tidak disamakan dengan industri yang lain," sebutnya.
Pasalnya, industri migas bukan industri yang kompetitif tidak bisa disamakan dengan, misalnya, industri telekomunikasi. Sifat industri migas adalah oligopolistik, artinya pelaku usaha memang itu-itu saja karena risiko usahanya yang demikian besar. "Investasi migas adalah padat modal, padat teknologi, dan pelaku lama," tegas Ari.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar